Sudah tanggal 20, dua bulan lagi tahun berganti. Pencapaian tahun ini adalah lulus sarjana. Bukan pencapaian yang begitu besar, tapi setidaknya ada kemajuan.
Bagaimana caranya marah kepada pasangan? Selasa lalu dia bimbingan untuk yang kesekian kali. Setelah mundur sehari dari jadwal seharusnya, akhirnya aku bertemu dengannya.
Sebenarnya jarak rumah Kakak dengan kampus tidak begitu jauh. Tapi tetap saja, perlu tenaga dan kesediaan meluangkan waktu untuk bertemu dengan dosen. Setidaknya Kakak perlu waktu setengah jam untuk tiba di Ngaliyan. Tapi butuh hampir satu tahun menyiapkan niat untuk mengerjakan skripsi.
Setelah menyetorkan foto 3X4 untuk kebutuhan ijazah aku menunggu Kakakku sambil makan rujak buah di kantin. Sendiri, sampai salah seorang teman menghampiri. Tidak lama kemudian dia pergi lagi untuk bertemu temannya. Saat asyik menonton drakor “Little Woman” sebuah pesan masuk dari Kakak yang menyuruhku menemuinya. Ia sedang duduk di bangku depan Fakultas Febi.
“Tadi aku sudah ke belakang situ, tapi Bapaknya lagi ngobrol sama Dekan (aku lupa pada bagian ini, entah dekan atau dosen lain), aku disuruh pergi dulu”, jawabnya saat aku bertanya kenapa tidak lekas menemui dosen.
Kemudian dia menyuruhku yang masih berdiri untuk melihat apakah dosen pembimbingnya sudah selesai berbicara dengan Dekan. Aku agak kesal sebenarnya, dia tidak menyapaku dengan lebih hangat, malah menyuruhku mengintip dosennya. Baru mau balik badan Dosbing itu terlihat masuk ke ruang dosen. Syukurlah aku tidak perlu mengecek.
Hal kedua yang membuatku kesal, Kakak tidak segera masuk menyusul Dosen. Katanya, baru beberapa menit, Dosen itu pasti baru mau duduk. Aku tidak mau berdebat. Selang beberapa menit kemudian akhirnya Kakak masuk menemui Dosen, tapi tak lama ia kembali lagi.
“Kenapa?” tanyaku.
Ternyata dia disuruh mengalah karena ada mahasiswi yang sedang bimbingan. Akhirnya dia duduk di seberangku. Aku sudah izin lebih dulu untuk menonton drakor—tapi beberapa jam kemudian ia mengungkapkan rasa kesal karena katanya aku rindu tapi malah ketika baru datang langsung menonton drakor dan tidak menjawab pertanyaannya—aku kan sudah izin wekkk.
Guntur makin menggelegar berbarengan hujan turun lumayan deras. Sebenarnya tempat yang kami duduki sudah tidak nyaman. Tempat dudukku mulai basah terkena tempias hujan. Dua orang yang sedang mengerjakan lampu taman Fakultas ikut bergabung. Jujur aku tidak terlalu peduli, aku masih asyik menonton. Soal basa basi kepada laki-laki biar menjadi urusan Kakakku.
“Ay, sini pindah di situ basah”
Aku pindah ke sampingnya, tapi sebelum benar-benar duduk, kami memilih pindah ke teras Fakultas agar lebih aman dari tetesan air dan lebih dekat dengan ruang dosen. Sebenarnya sejak sebelum hujan aku sudah menyarankan agar dia menunggu saja di ruang dosen. Tapi dia bilang tidak ada tempat duduk.
Di depan resepsionis ada dua orang yang sedang duduk di kursi. Satu laki-laki dan satu perempuan. Karena tidak ada kursi lagi kami berdua duduk di teras. Beberapa waktu kemudian mahasiswi yang lebih dulu bimbingan keluar. Kakak masuk lagi ke ruang dosen tapi kembali terlalu cepat.
“Dua orang yang duduk di depan resepsionis itu ternyata mau bimbingan juga” ujarnya sambil tertawa.
Helaan napasku seolah berkata, “Kan aku bilang juga apa? Tunggu saja di ruang dosen supaya bisa langsung duduk ketika mahasiswa lainnya selesai”.
Tapi tetap saja dia akan membela diri dengan dalih tidak ada kursi dan tidak mungkin berdiri. Kami masuk ke dalam dan duduk di kursi menggantikan dua orang tadi. Waktu berlalu dan akhirnya Kakak masuk untuk benar-benar bimbingan. Aku sudah menemaninya beberapa kali. Dan menurutku, pada bimbingan kali ini agak lumayan lama. Mungkin sekitar 20-30 menit, dari pada pertemuan sebelumnya yang begitu singkat.
Setelah keluar dari ruangan Kakak bercerita, tadi Dosbingnya menanyakan keberadaanku.
“Pacarnya mana Mas?”
Aku lupa kalimat yang sesungguhnya, namun intinya seperti itu. Kakak menjawab aku sedang menunggu di depan. Tidak ada hal lain lagi yang harus kami lakukan di kampus. Tapi aku kebelet buang air kecil. Lalu aku diantar ke toilet. Toilet wanita dan pria masing-masing memiliki pintu depan sebelum ada lagi pintu untuk dua toilet yang tersedia. Sayang pintu toilet tidak bisa ditutup. Aku panik, tapi Kakak bilang tidak masalah, dia akan berjaga di pintu depan. Toh tidak ada siapa pun yang datang katanya. Aku percaya lalu menitipkan tasku.
Hal menyebalkan ini kemudian terjadi. Tidak, bukan hal besar. Ini hanya masalah sepele.
Setelah masuk ke toilet secara ajaib ternyata pintu bisa dikunci. Aku merasa aman. Setelah keluar aku tidak melihat siapa pun di pintu depan, bahkan tasku menggantung di gagang pintu. Orang yang katanya berjaga ternyata berdiri sedikit jauh dari pintu toilet perempuan.
Tahu kenapa aku kesal? Pertama karena dia tidak berdiri di depan pintu seperti semua. Kedua, karena dia meninggalkan tasku begitu saja. Tapi sebenarnya dia tidak salah, toh jarak antara dia dan pintu tidak benar-benar jauh. Lagi pula dia betul, tidak ada siapa pun yang datang jadi tasku aman. Mungkin dia juga tidak enak jika berdiri di dekat pintu toilet perempuan. Maraknya kasus pelecehan membuat siapa pun mudah berprasangka. Tapi aku tetaplah aku. Aku tetap marah.
Akhirnya aku berjalan tanpa menghiraukan dia. Aku kembali ke parkiran Fakultasku untuk mengambil motor. Ketika dia bertanya aku mau ke mana?
“PULANG!” jawabku dengan ketus. Ya mau ke mana lagi? Tentu saja aku mau pulang. Aku kesal karena merasa dia tidak menjagaku persis di depan pintu.
Dia tidak mengejar. Aku juga tidak ingin dikejar. Ini bukan drakor. Aku yang kesal melajukan motor hingga dia mencegat. Bukan, dia bukan ingin minta maaf seperti dugaanku. Dia menanyakan kunci motornya. Kunci motor itu tidak ada padaku. Dia sama sekali tidak memberikannya.
“Waduh hilang berarti” ucapnya agak panik.
Sekesal apa pun aku, aku tetap ikut panik. Rasa kesalku menguap begitu saja. Aku tertawa kecil. Selalu begini. Ada-ada saja. Aku memarkirkan motorku lalu membantunya mencari kunci. Bagaimana pun juga dia bestiku. Tidak mungkin aku tinggalkan sendiri meski semarah apa pun.
Aku mencari ke tempat yang kita singgahi sebelumnya. Nihil. Lalu dia datang sambil tertawa ternyata kunci motor itu terselip di kantung tas bagian kiri—kalau tidak kanan. Aku geleng-geleng kepala, entah hanya akal-akalan dia saja agar aku tidak jadi marah atau memang terselip. Dia selalu begitu, gagal fokus dan mengalami kesialan saat aku marah. Alasan aku tidak mau marah atau terlalu sering “ngambek” adalah kasihan, nanti dia pusing. Meskipun baginya aku masih sering marah.
Sampai di kos aku masih merasa sedikit kesal. Aku menyindir dengan ucapan hati-hati di jalan ketika pulang. Tapi dia tidak pulang. Seperti hari-hari sebelumnya, kami selalu kebingungan hendak makan di mana. Dia berprinsip lebih baik tahu tujuan kemudian berangkat daripada berjalan tapi belum tahu hendak ke mana. Kebalikan dari aku yang penting bertemu dulu, setelah kita bersama ke mana pun akan lebih mudah. Hahaha. Akhirnya kami makan di Pujasera—tempat andalan. Lalu salat magrib di Masjid depan kecamatan dan singgah ke burjo yang terletak di dalam pasar.
Kalau bukan karena pesan dari Kakak, aku tidak ingat jika ini tanggal 20. Setiap bulan pada tanggal 20 kami selalu mengucapkan selamat tanggal jadian. Agak kekanak-kanakkan tapi ini seru. Mungkin ini sudah yang ke-30 bulan hahaha. Setelah ini kami LDR lagi. Apa pun yang terjadi setidaknya kami masih bersama sampai hari ini. Soal berjodoh atau tidak, biarlah menjadi rahasia langit. Kami hanya mengusahakannya.
Tidak peduli seberapa sering kami saling kesal dan seberapa menyebalkannya aku bagimu. Satu-satunya perempuan yang akan menangis jika dirimu terluka selain ibu dan adikmu adalah aku. Ya semoga, semoga. Semoga aku tetap satu-satunya.
Selamat tanggal 20 di bulan Oktober yang basah.
Post a Comment